Apakah LLM dan Sistem Pendidikan Indonesia Memang Ditakdirkan Bersama?

Pada tahun 2022, Gary Marcus, seorang kritikus keras Large Language Models (LLM), berkata bahwa LLM seperti ChatGPT telah mencapai titik buntu. Mengapa? Karena menurutnya, LLM tidak benar-benar “memahami” bahasa. Mereka hanya melakukan prediksi token (atau kata) berikutnya secara autoregressive—alias menebak kata-kata berdasarkan pola statistik, bukan pemahaman.

Contohnya begini, kalau saya tulis “permusyawaratan,” menurutmu apa kata berikutnya? Jawaban yang paling mungkin adalah “perwakilan,” karena kita semua pernah menghafal sila ke-4 Pancasila di sekolah dasar: “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan.”

Kata “permusyawaratan” dan “perwakilan” sering muncul bersamaan, sehingga probabilitas munculnya kata “perwakilan” setelah “permusyawaratan” sangat tinggi. Sama seperti LLM, kita terbiasa menghafal rangkaian kata ini tanpa benar-benar memikirkan maknanya.

Sekarang, coba jujur: Apakah kamu benar-benar memahami makna mendalam dari sila ke-4 tersebut? Atau hanya hafal saja tanpa tahu filosofi di baliknya?

Nah, kalau jawabannya kamu cenderung hafal saja tanpa benar-benar paham, maka kita tak ubahnya seperti burung beo stokastik yang digambarkan oleh para pengkritik LLM. Sama seperti model AI yang “mengulang” pola tanpa pemahaman mendalam, kita juga sering melakukan hal yang sama—menghafal tanpa memahami.

Di sinilah letak keunikan sistem pendidikan kita. Jika LLM hanya memprediksi token berikutnya, mungkin mereka benar-benar teknologi yang paling cocok diterapkan di Indonesia! Toh, di sekolah kita, yang penting bukanlah pemahaman, tapi seberapa baik kita bisa menebak kata selanjutnya dalam hafalan.


Tapi memang powerful sekali LLM ini, bahkan saya meminta bantuan ChatGPT untuk menuliskan lelucon ini. Saya hanya perlu memberikan informasi elemen-elemen leluconnya, dan dia akan <token limit reached>