Mengisahkan pengalaman sekumpulan mahasiswa Indonesia yang berkuliah di luar negri selama periode 1960an, yang tertahan tidak bisa pulang ke tanah air karena situasi politik Indonesia dan keputusan ideologisnya sehingga terpaksa menjadi eksil (dari kata exile, terasing).
⚠️ Spoiler alert ⚠️
Saya hanya akan membahas tentang satu pertanyaan yang muncul selama menonton film ini terkait dengan pengalaman menjadi seorang eksil.
Di dalam film diberitakan bahwa salah satu alasan para eksil ini tidak bisa pulang adalah karena enggan membuat pernyataan mendukung pemerintahan Orde Baru di bawah kepemimpinan Soeharto. Pertanyaan awal saya adalah, “mengapa tidak memilih pulang saja?”, yang mana jawabannya mungkin cukup kentara: ada sesuatu yang diperjuangkan – idealisme.
Ada hal yang menarik di dalam film ini. Pertama, salah satu alasan para eksil tidak bisa pulang adalah karena mereka memilih untuk berpegang teguh pada ideologinya. Alih-alih menyerah dan membuang idealisme, membuat pernyataan dukungan kepada pemerintahan Soeharto, mereka membiarkan diri mereka hidup terasing di negri orang. Hari-hari dilalui dengan kekhawatiran akan keselamatan diri mereka sendiri, maupun keselamatan keluarga yang ditinggalkan di tanah air.
Hal-hal lain yang biasanya mudah ditemukan di Indonesia tetapi sulit dicari di negara kediaman seperti pakaian bermotif batik, makanan dengan bumbu khas Indonesia, menjadi obat kerinduan akan kampung halaman. Ada beberapa dari mereka yang menanam pepohonan yang sering ditemui di Indonesia seperti pohon pisang. Sebagian menggunakan teknik tertentu agar tanaman tropis dapat tumbuh di halaman negara beriklim empat musim. Ada juga yang menanam pohonnya di dalam pot di dalam rumah, sehingga menjadi tanaman pisang mini seperti bonsai.
Para eksil menaruh harap akan bisa pulang setelah presiden berganti. Penantian itu berlangsung lebih lama daripada yang awalnya mereka kira, karena Presiden Soeharto berkuasa 3 dasawarsa lamanya.
Pada tahun 1998 Soeharto akhirnya lengser, dan para eksil akhirnya bisa pulang. Sesampainya di tanah air, mereka mendapati diri mereka kecewa karena merasa asing dengan wajah baru Indonesia hasil pembangunan selama 30 tahun.
Maka pertanyaan yang muncul di pikiran saya adalah: Siapakah Indonesia (bagi mereka)?
Catatan tambahan. Nonton film ini di pekan pertama Februari lalu, cukup was-was tidak sempat nonton sebelum turun layar, karena sudah beberapa kali menunda agenda nonton dan jumlah layar semakin sedikit. Ternyata sampai hari ini di penghujung Februari film ini masih tayang dan bahkan jumlah layarnya lebih banyak dibandingkan saat itu. Syukurlah.